(Ilustrasi Politik Uang)
KERINCI - Kutipan ini paling cocok sebagai pencerdasan dalam memilih pemimpin di negeri ini " Terima Uangnya, Laporkan dan Jangan Pilih Orangnya ", bukan hanya sebuah ungkapan dalam memilih pemimpin yang amanah untuk rakyat akan tetapi merupakan simbol kualitas Pendidikan penduduk masyarakat disuatu wilayah atau negri.
Munculnya Ungkapan ini merupakan respon atas apa yang telah terjadi di masyarakat saat momentum pemilihan umum (Pemilu) diselenggarakan.
Politik uang dengan berbagai macam dalih, masih kental di masyarakat, entah saat Pemilu Kepala Desa, Camat, Bupati atau Gubernur dan pemilihan umum lainnya syarat dengan politik uang.
Sangat miris sekali disaat suara rakyat dibeli dengan Murah, tanpa berpikir bagaimana Sosok dan Kepemimpinan calonnya, apakah orang baik dan layak untuk memimpin atau tidak, itu urusan belakang. Terpenting bagi masyarakat, mereka untung saat itu, meninggalkan pekerjaan demi pergi ke Tempat Pemungutan Suara (TPS). Percayalah, bagi rakyat kecil meninggalkan pekerjaan sehari-harinya demi berangkat ke TPS sangat sulit tanpa adanya motivasi.
Pendidikan politik tidak sampai pada level masyarakat bawah, sadar betapa pentingnya memilih pemimpin daerah yang baik dan jujur jauh dari harapan. Masalah yang dihadapi oleh mereka adalah rendahnya tingkat pendapatan dan bagaimana menyelesaikan beban-beban keluarga.
Dengan Situasi seperti ini kemudian dimanfaatkan oleh partai atau calon pemimpin daerah atau nasional untuk membeli suara rakyat dengan memberi uang ketika hendak pemilihan umum.
Sinergitas Barter suara dengan uang seolah olah sebagai timbal balik dari, rakyat butuh material dan politisi butuh kursi jabatan, dua kepentingan yang saling menguntungkan. Yang kemudian muncul budaya baru, dikalangan masyarakat.
Budaya politik uang mengakar dan sulit untuk dihilangkan. Masyarakat berpandangan realistis terhadap kehidupan mereka, uang Rp. 50.000 merupakan bernilai. Bagi politisi, uang dengan nominal tersebut sangat kecil dan tidak ada apa-apanya dibandingkan “proyek” yang akan diterima ketika mereka sudah jadi kepala daerah.
Hingga muncul paradigma, siapa yang memberikan uang yang paling besar itu yang dipilih.
Pertama, saya menentang sikap masyarakat yang pro terhadap politik uang karena tidak memahami kondisi perekonomian dan kebutuhannya yang numpuk. Bahwa uang dengan nominal kecil bagi calon kepala daerah, namun besar bagi masyarakat. Untuk kebutuhan menyekolahkan anak, tambahan uang saku anak pun sangat berarti. Itulah kondisi real masyarakat, bahwa kencing pun bayar apalagi makan.
Terima Uangnya, Jangan Pilih Orangnya
Apabila Anda ingin memerangi politik uang tidak harus tidak menerima uangnya. Karena sulit mengajak masyarakat agar tidak menerima politik uang saat hendak pemilu atau serangan fajar. Pastinya kita sangat membutuhkan uang, apalagi bagi yang sudah berkeluarga dengan banyak tanggungan mungkin juga banyak hutang. Sudah menjadi sifat alamiah manusia, bahwa cinta dengan dunia dan membutuhkan kehidupan dunia yaitu berupa materi.
Paling hanya 1 sampai 2 orang yang tidak mau menerima politik uang. Bagus kalau hal itu bisa dilakukan oleh setiap masyarakat, tidak menerima uang suap atau politik uang. Kenyataannya berbeda, banyak masyarakat yang kondisi ekonominya di bawah rata-rata. Tidak heran jika suaranya diberikan hanya demi uang nominal ribuan. Mereka menerima uangnya pun punya argumen, tidak sekedar kebutuhan. Banyak masyarakat yang bilang, “paling besok yang terpilih juga tidak kenal kita dan tidak memikirkan kita”. Kondisi real semacam itu banyak saya temui di masyarakat.
Masyarakat nampaknya sadar terhadap tingkah para politisi kita ketika sudah berada di kursi kekuasaan, mereka akan lupa akan keberpihakannya ke masyarakat. Lebih menguntungkan berpihak ke perusahaan dan pemodal dari pada berpihak ke masyarakat kecil. Itulah salah satu sebab, kenapa masyarakat mau menerima politik uang selain kondisi perekonomian.
Atas dasar itu, mari kita kampanyekan, “terima uangnya” dari para calon yang melakukan politik uang. Kalau para calon memberikan uang semua, terimalah, anggap saja itu uang sadaqah. Toh mereka juga berdalih sadaqah. Kalau itu anggap uang haram, sadaqahkanlah atau berikan untuk pembangunan tempat ibadah. Jika Anda berniat memerangi politik uang dan mencegah korupsi, terima dan gunakanlah uangnya. Tapi ingat, jangan pilih orangnya.
Jangan pilih orangnya, walaupun semua kandidat melakukan politik uang. Karena politik uang sendiri pada dasarnya pelanggaran. Menerima uan suap atau politik uang bisa menjadi gerakan pemilu bersih dan mencegah korupsi. Asalkan jangan pilih orangnya. Toh, secara otomatis kalau orang mempunyai pandangan itu semua, para politisi pun akan enggan melakukan politik uang, karena akan sia-sia tidak bisa memberikan penambahan suara.
Apabila Anda mengajak masyarakat tidak menerima uangnya sangat sulit, saat ini ajaklah masyarakat untuk menerima politik uang. Tapi jangan pilih orangnya. Karena uang sangat menggiurkan, tanpa bekerja sehari bisa mendapatkan uang secara percuma-cuma, siapa yang tidak tergiurkan kecuali Anda kaya, kaya materi dan hati.
Ajaklah semua masyarakat untuk menerima uangnya dan jangan pilih orangnya. Itu sebagai pendidikan politik juga terhadap masyarakat. Masyarakat akan berpikir, kenapa jangan pilih orangnya. Mereka akan menemukan jawabannya sendiri seiring dengan banyaknya para pejabat kita yang korupsi, suap dan nepotisme.
Politik uang menjadi salah satu pintu gerbang para pejabat melakukan tindakan korupsi. Sehingga kita perlu memerangi politik uang. Namun sudah lama kita diingatkan tentang pelanggaran politik uang, tapi juga tidak menuai hasil. Karena seperti yang dibahas sebelumnya, politik uang sudah menjadi budaya di masyarakat yaitu saling menguntungkan semua pihak, yaitu pihak calon kepala daerah dan masyarakat itu sendiri.
Namun jika salah satu pihak merasa dirugikan, politik uang tidak akan kembali terjadi di masyarakat. Karena percuma jika calon kepala daerah melakukan politik uang, jika masyarakat sudah cerdas mengatasinya yaitu menerima uangnya dan tidak memilih orangnya. Otomatis politik uang akan membuat bangkrut para calon pejabat tersebut.
Politik uang jika sudah tidak efektif, para politisi akan berpikir bagaimana mendapatkan suara. Salah satunya dengan menunjukkan dedikasinya terhadap masyrakat. Bursa pencalonan pun tidak serta merta dikuasai oleh para pemodal, pengusaha, namun juga kader potensial akan mendapatkan ruang.
Laporkan
Politik uang sendiri pun sebuah pelanggaran hukum dalam pemilu. Ada pula yang mengatakan kejahatan politik. Walaupun sudah ada regulasi dari pemerintah untuk menyelesaikan sengketa politik uang, namun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tidak akan bergerak lebih jika tidak ada yang melaporkan. Kalau pun ada yang melaporkan, kebanyakan dari lawan politiknya.
Tidak cukup jika Anda mempunyai prinsip, terima uangnya dan jangan pilih orangnya. Ada satu hal lagi yang harus Anda lakukan yaitu laporkan orangnya. Dengan melaporkan orangnya akan memberikan efek jera atas praktik politik uang. Pasti para calon akan berpikir ulang ketika masyarakat mempunyai kesadaran melaporkan orangnya yang melakukan politik uang.
Anda bisa melaporkan ke Bawaslu atau lembaga terkait. Karena Bawasl telah diamanahi menyelesaikan sengketa politik uang menurut Undang-Undang Pilkada Nomor 1 Tahun 2015. Kesadaran tersebut jika sudah terbentuk, akan mengurangi politik uang.
Tentunya pemuda yang harus memperlopori gerakan atau prinsip ini. Karena mereka berpotensial yang melek media dan mempunyai kesadaran politik yang tinggi. Pemuda pula yang belum mempunyai “tanggungan” keluarga, porsi untuk melakukan aktivitas sosial masih banyak.
1 Komentar
Apo ini.
BalasHapus