Anatomi Fee Proyek & Rekomendasi Orang Dekat Pejabat : Bagaimana Mutu Konstruksi Tergerus dari Hulu ke Hilir

 


SORAKLINTERA, KERINCI — Di balik maraknya pembangunan infrastruktur di berbagai daerah dan Isu adanya Pengaturan Proyek dari orang dekat pejabat disertakan Permainan Kotor Fee Proyek, tersimpan praktik-praktik yang diyakini menjadi salah satu penyebab menurunnya kualitas pekerjaan konstruksi. Temuan lapangan dan analisis para pakar mengungkap pola berulang : fee proyek, intervensi rekomendasi dari orang dekat pejabat, hingga proses pengadaan yang kehilangan objektivitas. Semua itu diduga berkontribusi langsung terhadap menurunnya mutu pekerjaan fisik yang dibiayai uang negara.

Liputan investigasi ini menelusuri hubungan antara praktik tersebut dan kualitas konstruksi, dengan merujuk pendapat pakar, literatur akademik, serta pengalaman empiris praktik profesional.

I. Jejak Awal: Ketika Anggaran “Dipreteli” Sebelum Proyek Dimulai

Di tingkat daerah, istilah fee proyek sudah bukan rahasia. Sejumlah kontraktor yang ditemui di lapangan—yang enggan disebut namanya—mengakui bahwa ada pola yang diduga terjadi di berbagai tempat: sebelum pekerjaan dimulai, kontraktor sering kali harus menyisihkan sekian persen nilai proyek untuk “biaya non-teknis”.

Pola ini sejalan dengan teori yang dikemukakan Ervianto (2002) dalam bukunya Manajemen Proyek Konstruksi, di mana setiap distorsi anggaran awal akan menyebabkan penurunan integritas biaya teknis. Dalam praktiknya, kontraktor kemudian menutup selisih tersebut dengan memotong kualitas material, volume pekerjaan, atau memperpendek umur teknis bangunan.

Pakar manajemen konstruksi Ir. H. Muhammad Arsyad, MT. memaparkan “Fee proyek itu ibarat kanker. Ia menggerogoti anggaran teknis pelan-pelan sampai akhirnya kualitas jadi tumbal. Tidak ada kontraktor yang bisa mempertahankan standar tinggi jika dana teknis sudah terkikis sebelum pekerjaan dimulai.” — Mengacu pada teori distorsi biaya awal dari Ervianto (2002)

Menurut Arsyad, fenomena ini merupakan hulu dari berbagai masalah teknis yang sering muncul di lapangan.

II. Rekomendasi Orang Dekat Pejabat : Politik dalam Jubah Pengadaan Publik

Selain fee, muncul pula peran “rekomendasi orang dekat Pejabat”. Istilah ini di banyak daerah merujuk pada orang-orang yang berada di lingkaran pejabat tertentu, yang diduga punya pengaruh dalam menentukan siapa yang mendapatkan paket pekerjaan.

Dalam literatur global, fenomena ini sebetulnya bukan hal baru. Bent Flyvbjerg (2003) dalam Megaprojects and Risk menguraikan betapa berbahayanya proyek yang dikendalikan oleh kedekatan politik dan kepentingan personal. Ia menyebut kondisi ini sebagai political capture in procurement, yang berujung pada kegagalan teknis dan pembengkakan biaya.

Ahli pengadaan barang dan jasa, Dr. Dedi Surawan, menegaskan “Jika pemenang proyek ditentukan oleh kedekatan, bukan oleh kinerja dan kemampuan teknis, maka kualitas hanyalah efek samping yang terbuang. Proyek publik bukan lagi arena kompetisi profesional, tapi ruang negosiasi kepentingan.”— Sejalan dengan temuan Flyvbjerg (2003) tentang ketidakmampuan sistem yang dikendalikan politik.

Dedi menambahkan bahwa rekomendasi personal telah menjadi hulu persoalan banyak proyek yang mangkrak, retak dini, atau gagal fungsi.

III. Autopsi Lapangan: Ketika Struktur Bicara Jujur

Investigasi SORAKLINTERA menemukan sejumlah pola lapangan yang sesuai dengan analisis para pakar.

Di beberapa titik proyek fisik daerah:

- Ketebalan lapisan aspal tidak sesuai RAB

- Beton mengalami honeycomb dan porositas tinggi

- Pembangunan drainase tidak memenuhi elevasi standar

- Struktur jembatan tidak memiliki tulangan sesuai spesifikasi

- Umur teknis pekerjaan jauh di bawah standar nasional

Seluruh fenomena tersebut sejalan dengan teori dalam Soeharto (1997), Manajemen Proyek, yang menegaskan bahwa integritas pengadaan menentukan 70% kualitas hasil akhir. Ketika fase perencanaan dan pengadaan dilanggar, maka seluruh struktur akan menanggung konsekuensinya.

Arsyad kembali menegaskan “Struktur itu tidak tahu politik. Ia hanya tahu apakah campuran betonnya benar, apakah volumenya cukup, dan apakah fondasinya kuat. Jika uangnya kotor, pekerjaannya juga akan rapuh.” — Mengacu pada prinsip objektivitas mutu (Soeharto, 1997)

IV. Siklus Rusak: Dari Fee, Rekomendasi, hingga Kerusakan, Para pakar menyebut fenomena ini sebagai corrupted construction cycle:

1. Fee proyek muncul di awal

2. Rekomendasi personal mengarahkan pemenang

3. Kontraktor menekan biaya karena anggaran teknis tergerus

4. Volume dan spesifikasi menyusut

5. Pengawasan longgar karena “hubungan khusus”

6. Mutu turun dan umur teknis memendek

7. Proyek menjadi beban jangka panjang bagi negara

Flyvbjerg menyatakan dalam penelitiannya “Proyek yang dikuasai kepentingan personal tidak pernah dirancang untuk jangka panjang, tetapi untuk memenuhi kepentingan jangka pendek.” — Megaprojects and Risk, 2003

Penemuan ini selaras dengan kondisi lapangan di Indonesia yang menunjukkan pola serupa.

V. Dampak Strategis: Kerugian Negara dan Ancaman Keselamatan Publik

Pakar konstruksi memperingatkan bahwa praktik-praktik ini bukan hanya menggerus mutu, tetapi juga menciptakan potensi kerugian negara yang masif. Struktur yang dibangun dengan kualitas rendah akan rusak lebih cepat, membutuhkan biaya pemeliharaan lebih besar, dan membahayakan keselamatan masyarakat.

Menurut Dedi “Kejahatan proyek itu tidak selalu terlihat hari ini. Ia menyerang pelan-pelan. Tapi ketika bencana konstruksi terjadi, semuanya terbuka.”

VI. Rekomendasi Tajam Para Pakar: Memutus Mata Rantai Kerusakan, Untuk memutus siklus tersebut, para ahli merekomendasikan langkah tegas:

1. Audit teknis independen dari awal hingga serah terima, Bukan audit administratif semata, tetapi audit mutu lapangan.

2. Tender terbuka dengan evaluasi berbasis data kinerja, Kontraktor yang buruk harus dieliminasi dari sistem, bukan dilindungi.

3. Sistem pengawasan digital, SOP opname, progres, dan pembayaran harus dapat diakses publik.

4. Blacklist dan sanksi administratif bagi rekanan yang terlibat manipulasi mutu, Langkah ini banyak diterapkan negara maju.

5. Penguatan peran masyarakat dan media

Karena proyek yang dibiayai uang rakyat selayaknya dipantau oleh rakyat.

Dedi menutup “Selama biaya non-teknis lebih besar dari biaya teknis, daerah mana pun tidak akan pernah punya infrastruktur yang kokoh.” Tutupnya. (*/Ndi)




0 Komentar